Jumat, 10 Oktober 2008

Puasa dan Manusia

Oleh: Zainal A Hidayat
Ramadhan selalu dinanti dan dirindukan. Pada bulan ini umat Muslim berpuasa dan menabung banyak amal kebajikan. Dari tahun ke tahun, terlihat puasa memberikan dampak yang instan. Intensitas kegiatan keagamaan melonjak, hasrat berderma menguat, dan yang sekuler mendandani diri menjadi lebih religius.
Sayang, pengaruh yang sama menjadi tidak nyata ketika dihadapkan persoalan besar bangsa seperti korupsi. Boleh dikata, yang puasa adalah yang korupsi. Perilaku merusak ini mengakar kuat dari birokrasi paling tinggi hingga terendah. Lebih celaka lagi, sebagian pelaku korupsi itu adalah “anak haram” yang keluar dari organisasi berlabel agama.
Inilah teka teki besar tiap kali berjumpa dengan Bulan Puasa. Apalagi, puasa merupakan ritual milik hampir semua agama. Karena itu, selalu muncul gugatan, apakah agama mujarab untuk menata kembali perilaku individu dan masyarakat?
Dua Arah
Di negara maju, banyak studi menyimpulkan bahwa praktik keagamaan reguler menghasilkan manfaat pada individu, keluarga, komunitas, dan bangsa secara keseluruhan (Fagan, 2006). Komitmen terhadap agama –dengan manifestasi dan tingkat partisipasi yang beragam— berpengaruh pada perilaku ekonomi dan demografi. Sebaliknya, variabel ekonomi serta demografi juga menentukan derajat keterlibatan pada aktivitas religius.
Dalam kertas kerja “Praying for a Recession: The Business Cycle and Protestant Religiosity in the United States” (2008), David Beckworth mendapati, keanggotaan gereja di AS secara sistematis terkait dengan tingkat pengangguran, harga minyak, harga saham, dan kurva imbal hasil (yield curve). Studi ini, sejalan dengan Chen (2005) yang menemukan peningkatan aktivitas studi Al Quran dan partisipasi di sekolah agama pada saat krisis ekonomi 1997-1998 di Indonesia.
Sejatinya, agama dapat membentuk perilaku baik manusia. Tetapi, karena faktor politik, ekonomi, budaya, dan demografi seringkali ia masih bersifat siklikal. Dan, meski menempati posisi istimewa, namun agama bukan satu-satunya sumber nilai sepanjang hidup manusia. Seiring waktu, agama kerap kalah bersaing dengan institusi non-religius yang mengajarkan nilai berbeda.
Ulama dan organisasi keagamaan tak henti mengutuk keras perilaku korupsi. Tetapi, banyak kasus menunjukkan, dalam organisasi politik pelaku korupsi justru dilindungi dan dibela sejawatnya. Di sini, terjadi sebuah “moral community” yang bersifat terbalik. Sementara itu, pada musim kampanye, alih-alih mengajak pada kesejatian, banyak tokoh agama justru lebih berperan sebagai mesin keruk suara layaknya selebriti.
Di sisi lain, teori kapitalis mengajarkan bahwa mengedepankan self interest dan maksimalisasi keuntungan merupakan cara terbaik dalam mencapai kebahagiaan. Doktrin semacam ini bisa menancap lebih kuat dan banyak melahirkan model “manusia satu dimensi”.
Dalam laku beragama, hal ini tampak ketika manusia mengejar kepuasan spiritualitas tapi absen menyodorkan manfaat sosial bagi sesama. Puasa dan ibadat formal lainnya, bisa saja tergelincir pada ketimpangan semacam ini.
Makhluk Multidimensi
Dalam buku “Creating World Without Poverty” (2007) Muhammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian, percaya bahwa manusia merupakan makhluk multidimensi. Manusia tidak hanya mengejar keuntungan sebesar-besarnya tetapi juga memiliki kehendak menciptakan manfaat sosial dan melakukan kebaikan bagi manusia lainnya. Kapitalis paling masyhur sekalipun seperti Andrew Carnegie, keluarga Rockefellers, hingga Bill Gates, akhirnya berpaling dari permainan keuntungan ke fokus pencapaian lebih luhur lewat yayasan mereka.
Oleh sebab itu, puasa harus difungsikan demi mengukuhkan manusia sebagai makhluk multidimensi tersebut. Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa puasa adalah perisai (junnah), yakni benteng agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan tercela dan hina. Puasa juga, seperti dinyatakan Qaradhawi (2005), selayaknya menyuburkan kemauan (iradah) dan semangat memperbaiki diri. Dengan kata lain, puasa harus didorong melampaui kesalehan instan dan tidak siklikal.
Saat ini, harus jujur diakui, umat Muslim masih gandrung dengan model keberagamaan musiman. Lari ke pelukan (tokoh) agama saat krisis atau pada masa kampanye. Atau, berbondong-bondong menjadi manusia religius hanya dan selama Ramadhan saja.
Bulan Puasa selayaknya kita hayati lebih dari itu. Momentum sakral dan kolosal ini penting diarahkan bagi pembentukan iklim kesalehan, sekaligus maksimalisasi manfaat sosialnya. Puasa adalah perjuangan, dari manusia satu dimensi menjadi multidimensi.

Tidak ada komentar: