Jumat, 10 Oktober 2008

TAJUK REDAKSI

Pemberantasan Korupsi Jangan Diskriminatif

Akhir-akhir ini berita media massa mengenai praktek korupsi menjadi tontonan yang menarik untuk disimak. Betapa tidak, ditengah-tengah kesulitan mayoritas rakyat Indonesia, penyalahgunaan wewenang untuk mencari keuntungan pribadi ternyata tidak saja melibatkan pejabat-pejabat yang ada di lembaga eksekutif, tapi juga di lembaga yudikatif dan legislatif.

Dari realitas tersebut bisa jadi paktek korupsi menjadi sulit untuk diberantas. Namun bukan berarti pemerintah harus menyerah dan membiarkan pratek korupsi terus menggurita dan menghambat kemajuan bangsa.

Dari sisi pendekatan hukum, kita memang telah memiliki hukum yang dibangun dalam rangka memberantas korupsi, misalnya UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi, UU No 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No.30 Tahun 2002 yang mengatur tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Namun demikian, beberapa kalangan berpendapat pendekatan hukum kita masih dilakukan dalam koridor paradigma kekuasaan. Pendekatan hukum dalam bentuk ini merupakan pendekatan hukum yang feodalis dan diskriminatif karena untuk memeriksa pejabat tinggi negara harus terlebih dahulu memperoleh izin dari Presiden (pasal 55 UU No.22 Tahun 1999). Hal ini dinilai bisa menjadi tameng dan perlindungan bagi mereka untuk lolos dari jeratan hukum. Dan ini merupakan warisan Belanda yang dipertahankan sampai saat ini.

Karena itu, upaya pemberantasan korupsi yang selalu dikampanyekan Presiden SBY tampaknya masih akan sulit mencapai hasil yang maksimal selama faktor-faktor yang dapat menghambat upaya pemberantasan korupsi itu masih terus berlaku.

Mengingat sikap koruptif terbukti telah menghambat kemajuan bangsa, pemerintah hendaknya tidak berhenti berupaya memerangi korupsi. Kita berharap KPK terus didorong agar semakin berani berkiprah tanpa pandang bulu.

Tidak ada komentar: